BELAJAR 3 TAHUN, PADA KEMANA?
Ujian Nasional tahun ini jelas-jelas tidak dilaksanakan secara serentak. Di beberapa daerah terpaksa ditunda pelaksanaannya karena mengalami beberapa kendala.
Jangankan di Indonesia bagian timur, atau pun bagian tengah, di Indonesia bagian barat pun yang terdapat sentral pelaksana para panitia UN 2013, pelaksanaan UN masih ada yang ditunda. Banten salah satu contohnya.
Carut-marutnya pelaksanaan UN tahun ini, menambah citra buruknya pendidikan di negara agraris yang terhampar di zamrud khatulistiwa. Para praktisi pendidikan, langsung 'berteriak-teriak' dengan kondisi seperti ini. Mereka bahkan ada yang 'meyuarakan kembali agar UN 'DIHAPUS'.
Terlepas dari itu semua, jika pendidikan di negara tercinta ini masih seperti ini, kapan 'nilai-nilai keilmuan akan mendapatkan tempat yang layak?' Di satu sisi para peserta didik mendambakan Ilmu, Pengetahuan dan Ketrampilan dari proses KBM yang di ikutinya. Mereka dengan serius mengikuti penjelasan dan bimbingan guru-gurunya.. Bahkan terkadang mereka 'terpaksa' menerima teguran gurunya manakala mengalami 'kseslahan yang tidak disengaja'.
Sejak kelas X para siswa telah digembor-gemborkan untuk 'belajar dan belajar'. Berbagai media pendukung proses belajar diadakan oleh satuan pendidikan mereka. Kelas XI semakin dipertegas dengan masuknya Nilai Raport semester IV, V dan VI untuk menentukan 'kelulusan tingkat satuan pendidikan'. Nilai minimal rata-rata yang diberikan sekolah atau madrasah 'diusahakan' sedemikian rupa agar bisa lulus ketika dijumlahkan dengan 'nilai murni UN'. Kelas XII, yah, apalagi mereka. Segudang persiapan, dari dana hingga kseiapan fisik dan psikis. harus betul-betul diprioritaskan. Les dan 'Jam ke-Nol' di beberapa satuan pendidikan 'diwajibkan' demi meraih 'tingkat kelulusan optimal dengan nilai maksimal'.
Tidak jarang, ditengah perjalanan menuju UN, para peserta didik harus mengalami kenyataan 'sangat pahit' yang meliputi kurangnya biaya pendukung pelaksanaan Pra UN. Tidak kurang dari kocek satu juta untuk menghadapai UN ini per siswanya.
Yang lebih mengenaskan lagi, ketika proses UN sudah mereka jalani, pengumuman hasil UN sudah mereka terima dengan status 'LULUS'nya, ketika akan mengambil 'Lembar Ijasah dan lain-lain'
mereka harus pulang dengan gigit jari karena BIAYA UN BELUM LUNAS.
Dan itulah sisi lain dari fenomena UN di Negeri kita ini. Semoga para praktisi pendidikan, ahli-ahli pendidikan dan masyarakat yang peduli dengan pendidikan anak bangsa, akan terus bergerak untuk secepatnya 'membenahi pola dan sistem serta teknis pelaksanaan pendidikan di negara tercinta ini. Dan semoga mereka 'bisa melihat perkembangan sesungguhnya bahwa banyak anak-anak bangsa ini yang sangat membutuhkan uluran tangan mereka untuk PENGAKUAN KEILMUAN DAN KETRAMPILANNYA.
Penulis pernah mendengar langsung dari seseorang yang bergelar 'SH' -Sarjana Hukum-, dia berkata;
"...itulah Indonesia, masih hanya melihat status pendidikan dengan selembar ijasah, belum memandang kemampuan secara khusus. Kalau di luar negeri, kemampuan jelas di nomor satukan, tidak peduli memiliki 'lembar ijasah' atau tidak. Di sana, pemilik lembar ijasah dengan pemilik kemampuan, disatu-levelkan. Ketika melamar pekerjaan, yang ditagih dan disyaratkan adalah 'kemampuan', BUKAN LEMBARAN IJASAH."
Begitu yang saya dengar.
Untuk selanjutnya, terserah anda dan sobat blogger semua untuk memahami kutipan dari Sarjana Hukum tadi.