Seputar Hari Pendidikan Nasional 2015
Hari Pendidikan Nasional atau Hardiknas sering dirayakan dengan berbagai kegiatan. Sepeda santai, lomba-lomba olah raga antar sekolah hingga pertunjukan wayang kulit semalam suntuk. Ada yang bersifat lokal, tingkat kecamatan hingga tingkat Nasional. Pernahkah Hardiknas dirayakan dengan nuansa lain? Misalnya dengan membangun gubuk-gubuk reot di bawah jembatan, pinggiran sungai atau membangun fasilitas-fasilitas lainnya untuk kelas ekonomi bawah.
Kita sering mendengar keterkaitan Pendidikan Nasional dengan figur disebelah ini,kan? Ya, siapa lagi jika bukan
Ki Hajar Dewantara. Suwardi Suryaningrat adalah nama aslinya. Beliau Pahlawan Pendidikan Nasional, Pendiri Taman Siswa, pernah menjadi Menteri Pendidikan Indonesia, dan atribut-atribut lainnya yang menghiasi lencana penghargaan beliau. Namun, benarkah pendidikan sekarang 'melenceng' dari patrun yang beliau gali dan tanam untuk anak-anak bangsa ini?
"
Ing ngarso sung tulodo", artinya di depan memberi 'teladan'. Teladan adalah satu sikap dan perilaku yang menjadi contoh bagi lainnya. Pendidikan diberikan bukan untuk memperkaya pribadi, bukan untuk pandai korupsi, bukan untuk mematikan karakter orang lain, bukan untuk memutus rantai kehidupan, bukan untuk memakmurkan kloninya, dan tentunya bukan untuk menjadi pecundang dalam aspek-aspek kehidupan lainnya. Keteladanan adalah satu perilaku, BUKAN kata-kata atau cuma jargon saja. Buktikan dengan karya nyata!
"
Ing madya mangun karsa", artinya di tengah membangun asa dan cita-cita luhur. Kata di tengah menjadi atribut bagi para pelaksana di lapangan. Guru-guru, adalah salah satu komponen kependidikan yang berdiri di tengah ini. Membangun asa atau cita-cita, yaitu dengan membekali anak-anak didiknya dengan berbagai Ilmu Pengetahuan, Agama dan Keterampilan yang BISA DIMANFAATKAN UNTUK MASA DEPANNYA. BUKAN UNTUK MASA DEPAN GURUNYA!
"
Tut wuri handayani" maksudnya di belakang ikut mendorong supaya tujuan dan cita-cita Pendidikan khususnya, tercapai dengan sukses dan sesuai harapan. Ki Hajar pernah menyampaikan; "
Hendaknya pendidikan itu diberikan kepada peserta didik sesuai bakat dan kodratnya dari Tuhan Maha Pencipta". Mengapa Pendidikan justru dijadikan 'dogma dan cuci otak' agar mereka menjadi 'pengikut super setia dan pelaksana super sukses segala keinginan pribadi atau kelompok?'
BUKAN karena moto dari Ki Hajar Dewantara hanya satu yang tertulis pada Logo Pendidikan Nasional sehingga melupakan DUA MOTO di atasnya. Semoga bukan itu. Tapi mungkin karena 'kesibukan' jaman yang melenakan dua cita-cita luhur para pendiri Aspek Pendidikan Nasional negara kita. Kita-kita sebagai komponen bangsa dan negara, mari ikut andil memberikan warna-warna indah dan manfaat dalam kependidikan di sekitar kita. Pendidikan yang ada bukan hanya pendidikan jalur formal, seperti yang sudah diketahui. Jalur non-formal, bahkan jalur informal juga menjadi 'sasaran bidik' program pendidikan nasional. Coba tengok lagi
Sistem Pendidikan Nasional kita. Adakah di dalamnya aspek pembunuhan bakat, minat dan karakter peserta didik? Jangan cemari pendidikan kita dengan kebodohan dan pembohongan publik. Pendidikan bukan 'alat kekuasaan', bukan 'alat kekayaan' tapi media yang mengajari bagaimana kekuasaan didapat, bagaimana kekayaan diperoleh. Sikap dan perilaku 'teladan' JANGAN DILUPAKAN!
Hardiknas JUGA BUKAN SEKEDAR UPACARA! Begitu kan?! Meskipun upacara-upcara sudah menjadi agenda peringatan-peringatan, akan tetapi '
lebih baik upacara Hardiknas dilaksanakan untuk lebih menyadarkan betapa luhurnya nilai-nilai pendidikan, betapa agungnya keteladanan, betapa mulianya kecerdasan, betapa indahnya hidup dengan nurani'. BUKAN untuk mempertontonkan 'posisi' dalam institusi saja!
Sebuah situs yang bernama '
Ensyclopaedia Britannica' menuliskan ;
'
Ki Hadjar Dewantoro, Dewantoro also spelled
Dewantara, original name
Raden Mas (Lord) Suwardi Surjaningrat (born May 2, 1889,
Yogyakarta, Java,
Dutch East Indies [now Indonesia]—died April 26, 1959, Yogyakarta), founder of the
Taman
Siswa (literally “Garden of Students”) school system, an influential
and widespread network of schools that encouraged modernization but also
promoted indigenous Indonesian culture.'
(Artinya monggo madosi piyambak wonten ing
Google Translator)
Semoga pendidikan kita tidak salah arah. Amin.